Nama : Suci Ramadani
Nim : 1304792
Konsep Blended
Learning
1.
Konsep Blended Learning
Secara etimologi istilah blended
learning terdiri dari dua kata blended dan learning. Kata
blend berarti “campuran, bersama untuk meningkatkan kualitas agar bertambah
baik” (Collins Dictionary), atau formula suatu penyelarasan kombinasi atau
perpaduan. Sedangkan learning memiliki makna umum yakni belajar, dengan
demikian sepintas mengandung makna pola pembelajaran yang mengandung unsur
percampuran, atau penggabungan antara satu pola dengan pola lainnya. Elenena
Mosa (2006) menyampaikan bahwa yang dicampurkan adalah dua unsur utama, yakni
pembelajaran di kelas (classroom lesson) dengan online learning.
Pada perkembangannya istilah yang
lebih populer adalah blended e-learning dibandingkan dengan blended learning.
Kedua istilah tersebut merupakan isu pendidikan terbaru dalam perkembangan
globalisasi dan teknologi blended e-learning. Zhao (2008:162) menjelaskan “issu
Blended Blended e-Learning sulit untuk didefinisikan karena merupakan sesuatu
yang baru”.Berdasarkan pendapat tersebut, terdapat persamaan antara Blended
Blended e-learning yaitu penggabungan aspek blended e-learning yang termasuk web-based
instruction, streaming video, audio, synchronous and asychronous communication
atau aspek terbaik pada aplikasi teknologi informasi blended e-learning, dengan
kegiatan tatap muka. Dapat dikatakan secara sederhana Blended Blended
e-Learning adalah kombinasi atau penggabungan pendekatan aspek blended
e-learning yang berupa web-based instruction, video streaming, audio,
komunikasi synchronous dan asynchrounous dalam jalur blended –learning system
LSM dengan pembelajaran tradisional “tatap-muka” termasuk juga metode mengajar,
teori belajar dan dimensi pedagogik.
2. Karakteristik
Blended Blended e-Learning
Menurut Sharpen et.al. (2006:18) karakteristik Blended
Blended –Learning, adalah:
1.
Ketetapan
sumber suplemen untuk program belajar yang berhubungan selama garis tradisional
sebagian besar, melalui institusional pendukung lingkungan belajar virtual.
2.
Transformatif
tingkat praktik pembelajaran didukung oleh rancangan pembelajaran sampai
mendalam.
3.
Pandangan
menyeluruh tentang teknologi untuk mendukung pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan diatas,
karakteristik Blended Blended e-Learning adalah sumber suplemen, dengan
pendekatan tradisional juga mendukung lingkungan belajar virtual melalui suatu
lembaga, rancangan pembelajaran yang mendalam pada saat perubahan tingkatan
praktik pembelajaran dan pandangan tentang semua teknologi digunakan untuk
mendukung pembelajaran. Penerapan suatu model pembelajaran harus berdasarkan
teori belajar yang cocok untuk proses pembelajaran agar kelangsungan proses
tersebut dapat sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan.
Berdasarkan komponen yang ada dalam
Blended Blended e-learning maka teori belajar yang mendasari model pembelajaran
tersebut adalah teori belajar Konstuktivisme (individual learning). Karakteristik
teori belajar konstruktivisme (individual learning) untuk blended e-learning
(Hasibuan, 2006:4) adalah sebagai berikut.
1.
Active
learnes
2.
Learners
construct their knowledge
3.
Subjective,
dynamic and expanding
4.
Processing
and understanding of information
5.
Learners has
his own learning.
Individual learning dalam teori ini
pelajar adalah peserta yang aktif, kalau dapat membangun pengetahuan mereka
sendiri, secara subjektif, dinamis dan berkembang. Kemudian memproses dan
memahami suatu informasi, sehingga pelajar memilik pembelajarannya sendiri.
Pelajar membangun pengetahuan mereka berdasarkan atas pengetahuan dari
pengalaman yang mereka alami sendiri. Teori belajar berikutnya yang melandasi
model Blended Blended e- learning adalah teori belajar kognitf.
Pendekatan kognitif menekankan bagan sebagai satu struktur pengetahuan yang
diorganisasi (Brunner,1990; Gagne et.al., 1993). Menurut Bloom (1956)
mengindentifikasi enam tingkatan belajar kognitif yaitu “pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis”.
Teori terakhir adalah teori belajar
konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky. Menurut Vigotsky (1978)
adalah sebagai berikut: the way learners construct knowledge, think, reason,
and reflect on is uniquely shaped by their relationship with other. He argued
that the guidance given by more capable other, allows the learner to engage is
levels of activity that could not be managed alone. Konstruktivisme sosial
disebut juga collaborative learning. Karakteristik teori belajar tersebut
adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2006:4):
Teori ini membuat pelajar membangun
pengetahuan, berfikir, mencari alasan, dan dicerminkan dengan bentuk yang unik
melalui berhubungan dengan yang lain. Pelajar belajar dari penyelesaian masalah
yang nyata, pelajar juga bergabung pada suatu pembangkit-pengetahuan. Pengajar
juga masuk ke dalam sebagai pelajar bersama-sama dengan siswanya. Bentuk tugas
juga akan diolah dan pengetahuan dinilai dan diciptakan lalu membangun pengetahuan
yang baru.
3. Penerapan
Blended Blended e-Learning
Jika dikaji secara terminologis maka
blended e-learning menekankan pada penggunaan internet seperti pendapat
Rosenberg (2001) menekankan bahwa blended e-learning merujuk pada penggunaan
teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan. Hal ini senada dengan Cambell (2002), kamarga
(2002) yang intinya menekankan penggunaan internet dalam pendidikan sebagai
hakekat blended e-learning, termasuk untuk pendidikan guru. Secara spesifik
dalam pendidikan guru blended e-learning memiliki makna sebagai berikut.
1. Blended
e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan,
pelatihan-pelatihan tentang materi keguruan baik substansi materi pelajaran
maupun ilmu pendidikan secara online.
2. Blended
e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar
secara konvensional (model belajarkonvensional, kajian terhadap buku teks,
CD-ROM, dan latihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan
perkembangan globalisasi.
3. Blended
e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvesional di dalam kelas,
tetapi memperkuat model belajar tersebut melaluipengayaan content dan
pengembangan teknologi pendidikan.
4. Kapasitas
guru amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin
baik keselarasan antarconten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan
lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih
baik.
5. Memanfaatakan
jasa teknologi elektronik; di mana guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau
guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa
dibatasi oleh hal-hal yang protokoler.
6. Memanfaatkan
keunggulan komputer (digital media dan komputer networks).
7. Menggunakan
bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer
sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila
yang bersangkutan memerlukannya.
8. Memanfaatkan
jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.
Pendapat Haughey (1998)
tentang pengembangan blended e-learning mengungkapkan bahwa terdapat tiga
kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu:
1. Web course
adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik
dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka.
2. Web centric
course adalah penggunaan internet yang memadukan antar belajar jarak jauh dan
tatap muka (konvesional).
3. Model web
enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan
kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas.
Ada tiga hal dampak positif
penggunaan internet dalam pendidikan yaitu: (1) peserta didik dapat dengan
mudah mengambil mata kuliah di mana pun di seluruh dunia tanpa batas intuisi
atau batas negara. (2) peserta didik dapat dengan mudah belajar pada para ahli
di bidang yang diminatinya. (3) kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil
diberbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si
mahasiswa belajar.
4. Prosedur Blended
learning dalam Pembelajaran
Peningkatan kualifikasi guru
merupakan salah satu prioritas pemerintah indonesia, hal tersebut sebagai wujud
realisasi UU guru dan dosen no.14/2005 yang mempersyaratkan guru untuk memiliki
kualifikasi minimal S-1 dan memiliki sertifikat sebagai pengajar. Pada saat ini
guru di Indonesia berjumlah sebanyak 2.667.655 orang (depdiknas,2007). Di
samping kualitas akademik guru, kondisi peningkatan kualifikasi akademik guru,
kondisi kekurangan guru juga masih dialami sebagian wilayah di indonesia pada
berbagai jenjang pendidikaaan. Pada tahun 2007, selain Universitas Terbuka
pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan
Direktorat Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan menetapkan 10 LPTK untuk secara
bersama-sama menyelenggarakan sistem PJJ untuk program peningkatan kualifikasi
guru melalui pendidikan SI PGSD.
PJJ pada program ini berbasis pada
teknologi informasi dan komunikasi dengan menggunakan internet sebagai media
utama, tatap muka dilakukan hanya beberapa kali pada program residensial,
selebihnya menggunakan program e-learning. Keberhasilan PJJ PGSD dan sistem
pembelajaran jarak jauh yang menggunakan e-learning sebagai alat utama, sangat
menentukan oleh model learning management system (LMS) yang dikembangkan, dan
pemerintah bersama pihak terkait masih mencari-cari model LMS yang handal yang
mampu mewujudkan profil guru profesional, yang memiliki kompetensi kependidikan
dan keguruan yang setara bahkan melebihi guru dengan sistem pembelajaran
reguler. Model blended e-learning merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan
pembelajaran yaitu pembelajaran conventional berupa tatap muka dan e- learning
yang berbasis internet.
Seperti yang dikemukakan oleh Gegne
(1984) Belajar yang efektif mempunyai kriteria sebagai berikut:
(1) melibatkan pembelajaran dalam proses
belajar;
(2) mendorong munculnya keterampilan
untuk belajar mandiri (learn how to learn);
(3) meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan pembelajar;
(4) memberi motivasi untuk belajar
lebih lanjut.